Sorong Papua Barat, ROTENEWS.COM - Ketua Komunitas Anak Muda Adat Knasaimos Terkenal-kenal, menyuarakan dengan lantang apresiasi dan harapan besar atas kunjungan Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, Albert Kwokwo Barume, ke Tanah Papua, khususnya ke Kota Jayapura, Provinsi Papua. Dalam pernyataannya, Nabot menegaskan bahwa perjuangan masyarakat adat Papua selama ini bukanlah tindakan kriminal, melainkan bentuk perlawanan terhadap perampasan tanah dan kehancuran lingkungan yang difasilitasi negara.
Kami masyarakat adat Papua bukan KKB, kami bukan separatis. Kami adalah penjaga hutan dan tanah kami dan Kami berdiri melawan karena negara telah mendeforestasi kekayaan alam kami secara brutal, Hutan Ditebang, Rakyat Ditembak: Inilah Wajah Penjajahan Gaya Baru di Papua tegas Nabot.(10/7/2025).
Kami jaga tanah karena itu sumber hidup kami. Kalau kami diam, kami mati. Maka lebih baik kami lawan. Negara boleh sebut kami separatis, tapi kami tahu: kami berdiri untuk tanah ini,
Kunjungan Albert Barume pada 4–5 Juli 2025 ke Jayapura dilakukan sebagai tindak lanjut dari pertemuan informal dalam First Global Congress of Indigenous Peoples and Local Communities from the Forest Basins di Brazzaville, Republik Kongo, pada 26–30 Mei 2025. Di forum itu, Nabot mengaku bertemu langsung dengan Barume dan menyampaikan harapan besar masyarakat adat Papua.
Saya katakan langsung kepada beliau di Kongo: waktu kami kegiatan di sana saya bilang TPM OPM bukan separatis tapi demi melindungi tanah adatnya dia harus masuk ke hutan untuk melawan TNI polri. masyarakat adat Papua bukan separatis kami melindungi tanah adat kami jadi tanah Papua itu aman aman saja
Saya juga bilang sama beliau kami masyarakat adat Papua harus didengar. Kami minta beliau datang ke Indonesia. Dan hari ini beliau datang, mendengar sendiri jeritan kami, ujar Nabot.saat di wawancarai di kampung halamannya kwowok distrik saifi kabupaten Sorong Selatan
Dalam kunjungan dua harinya di Jayapura, Barume menemui berbagai pihak, termasuk Dewan Adat Papua (DAP), LSM lokal dan internasional, serta lembaga-lembaga resmi seperti Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua (DPRP). Kunjungan itu difasilitasi oleh AMAN, Yayasan Pusaka, Greenpeace, dan media Jubi. Nabot sreklefat mengatakan bahwa ini adalah tanda heran satu ke tanda heran yang lain kami senang beliau suda berkunjung ke tanah Papua.
Barume Dengarkan Suara-Doa Tanah Papua
Albert Barume, dalam kapasitasnya sebagai Pelapor Khusus PBB, menghabiskan waktunya dengan penuh empati dan komitmen mendengar berbagai kesaksian masyarakat adat Papua. Ia menerima laporan langsung dari komunitas yang menjadi korban konflik agraria, militerisasi, eksploitasi sumber daya alam, hingga pelanggaran HAM berat.
Mendengar suara masyarakat korban adalah mandat saya sebagai Pelapor Khusus. Saya datang bukan membawa solusi instan, tapi membawa suara kalian ke forum internasional,” ungkap Barume kepada peserta pertemuan di Jayapura.
Integrasi yang Dipaksakan dan Realitas Kekerasan nabot juga menegaskan bahwa proses integrasi Papua melalui Act of Free Choice (Pepera) 1969 yang hanya melibatkan 1.026 orang di bawah tekanan militer adalah tindakan yang cacat secara hukum internasional. Ditegaskan pula bahwa kegagalan negara dalam melindungi tanah, hutan, dan eksistensi masyarakat adat Papua merupakan bentuk pemusnahan sistemik (genosida, ekosida, dan etnosida).
Selama tidak ada pengakuan terhadap hak politik kami, maka kekerasan, penindasan, dan pemusnahan terhadap orang asli Papua akan terus berlangsung, tegas nabot sreklefat ketua (AMAK) anak muda adat knasaimos Dikabupaten Sorong Selatan provinsi Papua Barat daya.
Indonesia Tutup Akses, Dunia Tetap Mendengar
Sejak 2003, sudah 14 kali permintaan kunjungan resmi dari Komisi HAM PBB ke Papua ditolak oleh Pemerintah Indonesia. Namun, solidaritas internasional terus menguat. Dalam siklus Universal Periodic Review (UPR) 2022–2023, sedikitnya 15 negara mendesak akses masuk ke Papua. Sayangnya, rekomendasi dari Pacific Islands Forum (PIF), ACP Group, hingga berbagai forum internasional lainnya terus diabaikan oleh negara.
Gugatan masyarakat adat atas tanah yang dirampas untuk konsesi sawit dan tambang selalu kandas di pengadilan Indonesia. Ini bukti nyata: dalam kerangka hukum Indonesia, tidak ada ruang bagi masyarakat adat Papua untuk mendapatkan keadilan,” ujar Nabot.
nabot menyampaikan sikap tegas masyarakat adat Papua terhadap sistem yang selama ini menindas mereka. Lima tuntutan utama disampaikan, yakni
1.Permintaan resmi kunjungan investigasi Dewan HAM PBB ke Papua.
2. Pembentukan mekanisme investigasi independen jika akses ditolak terus.
3. Resolusi khusus di Majelis Umum PBB tentang situasi Papua.
4. Penghentian kerja sama PBB dengan lembaga negara yang melanggar hak masyarakat adat Papua.
5. Pengakuan dan pemenuhan hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin ICCPR, ICESCR, dan UNDRIP Pasal 3–4.
Nabot menyampaikan penghargaan mendalam kepada para pihak yang berkontribusi menghadirkan Pelapor Khusus PBB ke Papua dan Kami haturkan terima kasih kepada AMAN, Yayasan Pusaka, media Jubi, Greenpeace, dan semua pihak yang membawa Pelapor Khusus ini datang ke Papua tanpa tendensi politik, tanpa kepentingan tersembunyi. Ini membuktikan: Papua aman untuk dikunjungi. Jangan lagi gunakan alasan ‘keamanan’ untuk menghalangi kehadiran badan-badan PBB di Tanah Papua, ujar Nabot menutup pernyataannya.
( Jensen Segeit )