Maybrat, ROTENEWS.COM – Langit siang itu begitu cerah pada Jumat, 17/7/ 2025, pukul 09.00 waktu Papua. Birunya langit nan cerah berpadu dengan hijaunya dedaunan hutan-hutan bobot di perbukitan kapur (karst) yang masih tersisa.
Tapi keindahan itu tak mampu menutupi luka yang menganga di bumi Maybrat. Di balik keheningan alam, hembusan angin, nyanyian burung, dan suara alam dari perbukitan hingga lembah, ada suara-suara sunyi.
Suara-suara sunyi itu berupa rintihan hutan, jeritan sungai, dan tangisan bumi yang dilukai oleh tangan manusia sendiri.
Dalam keheningan alam di Kampung Susumuk, Distrik Aifat, empat pemuda dari komunitas Peduli Tata Ruang (Petarung) Papua bergerak dari sekertariat mereka. Menuju Fait Mayaf, lokasi yang kini menjadi pusat administratif Kabupaten Maybrat.
Bukan untuk liburan, bukan untuk urusan pribadi, melainkan karena panggilan nurani: melanjutkan observasi tentang darurat sampah yang sebelumnya telah mereka mulai dari Ayamaru hingga Aitinyo.
Mereka menunggang sepeda motor melintasi jalan mulus yang membelah rangkaian hutan yang masih hijau. Melewati kebun-kebun warga di tepi jalan. Lalu mendaki bukit terik yang membakar kulit. Tapi semangat mereka tak surut.
Ini bukan sekadar perjalanan. Ini adalah aksi: demi tanah leluhur, demi warisan alam yang mulai merintih karena dilupakan.
Tanjakan Sonere menjadi saksi pertama. Di sana, di antara semak dan bebatuan, mereka menghentikan laju motor. Tapi bukan panorama yang menyambut mereka. Di hadapan mereka: tampak luka yang nyata, tumpukan sampah berserakan di sisi jalan.
Kamera mereka menangkap semuanya dalam diam, membekukan bukti dari kerusakan yang tak seharusnya terjadi. Tempat itu telah berubah menjadi lokasi pembuangan sampah liar.
Tapi itu baru permulaan.
Tiba di depan Kantor Kehutanan Fait Mayaf, gunungan sampah lain menyambut. Ironis memang, di depan kantor yang seharusnya menjaga kelestarian alam, justru ditemukan bukti pengabaian.
Mereka melanjutkan langkah ke area Kantor Bupati Maybrat. Di sana, kembali mereka menemukan titik pembuangan sampah lain. Alun-alun Fait Mayaf, ruang publik yang seharusnya menjadi tempat rekreasi warga, tak luput.
Di belakang dan di sampingnya, terdapat lima titik pembuangan yang tersembunyi di balik semak atau dibiarkan terbuka begitu saja.
Langkah mereka selanjutnya mengarah ke gedung Samu Siret, ruang pertemuan dan pusat kegiatan masyarakat. Tapi yang ditemukan lagi-lagi menyedihkan: tiga titik pembuangan baru. Bahkan saat menyeberang jalan setapak, dua titik lagi ditemukan. Totalnya ada 13 titik pembuangan sampah liar.
Namun dari semua itu, ada empat titik yang paling menyayat hati: tanjakan Sonere, Pintu Masuk Area Kantor Bupati, rumah warga di sekitar Alun-Alun Fait Mayaf, dan area sekitar Aula Samu Siret.
Yang paling memprihatinkan: beberapa sampah dibuang tepat di tepi sungai, padahal airnya sehari-hari digunakan oleh warga kampung Sahbur dan sekitarnya untuk kebutuhan hidup.
Air itu tercemar. Hutan itu terluka. Tapi kita masih menganggap tidak ada masalah. Kita seperti menutup mata.
Sungguh menyakitkan ketika mengetahui bahwa pelaku pembuangan bukan hanya masyarakat awam. Dalam banyak kasus, justru mereka yang disebut “intelektual” yang mengenyam pendidikan tinggi ikut membuang sampah sembarangan.
Pertanyaan paling mendasar pun muncul: di mana nuranimu.
Maybrat kini dalam status darurat sampah. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Ini panggilan bersama. Pemuda, gereja, komunitas, lembaga pendidikan, semua harus turun tangan.
Tak cukup lagi hanya bicara-bicara dan seminar. Saatnya bersihkan kampung, dusun, lorong, halaman rumah, sekolah, gereja, kantor, hingga ruang hidup kita masing-masing dari sampah.
Karena jika tidak sekarang, kapan? Jika bukan kita, siapa?
Kami menutup observasi ini pukul 14.00 siang. Perjalanan pun kembali ke sekretariat Petarung di Kampung Susumuk. Di tengah perjalanan, satu pertanyaan menggantung di kepala:
Bisakah kita membangun gereja dengan sekop iman, tapi membiarkan bumi tempat gereja itu berdiri tenggelam dalam sampah
( Jensen Segeit )